baznas_header

Kriteria Penerima Bantuan Baznas

Fakir

Fakir adalah orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. Beberapa ulama memiliki pendapat masing-masing tentang arti dari fakir. Kempat ulama itu adalah Syafi’i, Hanafi, Hambali dan Maliki. Berikut adalah arti fakir dari masing-masing Imam:

Syafi’i: Fakir ialah orang yang tidak mempunyai harta dan usaha; atau mempunyai usaha atau harta yang kurang dari seperdua kecukupannya, dan tidak ada orang yang berkewajiban memberi belanjanya.
Hanafi: Fakir ialah orang yang mempunyai harta kurang dari senishab atau mempunyai senishab atau lebih, tetapi habis untuk memenuhi kebutuhannya
Hambali: Fakir ialah orang yang tidak mempunyai harta, atau mempunyai harta kurang dari seperdua keperluannya.
Maliki: Fakir ialah orang yang mempunyai harta, sedang hartanya tidak mencukupi untuk keperluannya dalam masa satu tahun, atau orang yang memiliki penghasilan tetapi tidak mencukupi kebutuhannya, maka diberi zakat sekadar mencukupi kebutuhannya.

Penjelasan ini sebagaimana dikutip dari https://baznas.banyuasinkab.go.id/pengertian-fakir/

Miskin

Di bawah ini dijelaskan pengertian miskin, sedangkan pengertian fakir telah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya.

a. Mazhab Hanafi. Sarakhsi, ulama mazhab Hanafi dalam bukunya al-Mabs, menyebutkan miskin adalah orang yang meminta-minta. Sebutan miskin juga diberikan dengan orang yang memiliki kecacatan, (bila dia) tidak meminta-minta maka (orang lain) tidak memberi kepadanya. Lebih lanjut Sarakhsi menerangkan bahwa miskin lebih sengsara keadaannya dibandingkan fakir. Fakir masih memiliki sesuatu meskipun tidak mencukupi kebutuhannya. Sedangkan miskin tidak memiliki sesuatu apapun. Terdapat beberapa dalil yang dijadikan sebagai hujjah, yaitu Surat al-Insan ayat 8, yang artinya: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan”.

Selanjutnya adalah surat al-Balad ayat 16, yang artinya: “Atau orang-orang miskin yang sangat membutuhkan”. Ulama tafsir menjelaskan bahwa miskin yang terdapat dalam ayat 8 surat al-Insan adalah miskin. Sedangkan ayat 16 surat al-Balad menunjukkan kepada orang yang sangat merana hidupnya. Kulitnya dipenuhi debu karena pekerjaan berat yang dikerjakannya. Perutnya selalu dalam keadaan lapar dan tidak berpakaian. Miskin dalam keadaan seperti ini dapat dikatakan tidak memiliki sesuatupun. Kondisi ini menunjukkan betapa orang miskin itu sangat sengsara hidupnya.

b. Mazhab Maliki. Menurut mazhab Maliki, miskin adalah: “miskin adalah orang yang tidak memiliki sesuatu apapun”. Rumusan ini sama dengan rumusan menurut mazhab Hanafi. Dalam mazhab Maliki, ukuran terpenuhi kebutuhan adalah makanan pokok, bukan kebutuhan pokok secara umum. Untuk mengukur kebutuhan mencukupi selama satu tahun tentu harus memiliki penghasilan, baik harian, bulanan maupun tahunan atau lainnya. Sedangkan miskin adalah orang yang tidak memiliki sesuatu apapun.

Miskin dapat disebut sebagai gelandangan yang tidak memiliki makanan dan tempat tinggal. Untuk menguatkan pendapat ini, mazhab ini tidak mencantumkan dalil, baik nas maupun logika, sehingga tidak diketahui secara pasti dasar pijakan mereka.

Penulis menduga, penetapan makna miskin dalam mazhab Maliki hanya bertumpu kepada pemahaman bahasa semata.

c. Menurut mazhab Syafi‘i dan Hanbali. Menurut ke dua mazhab ini, miskin adalah: orang yang mampu memenuhi kebutuhannya namun belum mencukupi. Miskin adalah orang mampu memperoleh lebih dari setengah kebutuhannya, bisa jadi hanya mendapatkan Rp. 8.000,- (delapan ribu rupiah) atau Rp. 7.000,- (tujuh ribu rupiah) dari Rp. 10.000,- (sepuluh ribu) yang dibutuhkannya. Ukuran mencukupi kebutuhan menurut kedua mazhab ini tidaklah tentu.

Seseorang disebut mampu mencukupi kebutuhannya (kaya) apabila ia telah mencukupi kebutuhannya. Ia tidak ditetapkan dengan memiliki uang sejumlah Rp. 50.000,- atau lebih atau dalam bentuk lain, seperti modal usaha dan binatang ternak atau tanaman yang telah sampai nisab.

Walaupun nilainya banyak sedangkan semua itu belum mencukupi, tidaklah disebut mencukupi kebutuhannya (kaya). Jadi ukuran kaya adalah mencukupi kebutuhan hidupnya. Menurut penulis, rumusan ini memerlukan uraian lebih lanjut dan perlu dikaitkan dengan ukuran hidup di suatu wilayah tertentu.

Perlu juga dijelaskan, apa saja jenis kebutuhan yang dipenuhi. Penjelasan lebih rinci mengenai hal ini dapat dituangkan dalam berbagai peraturan lain, sehingga dapat dilaksanakan. Untuk menguatkan pendapatnya, Mazhab Syafi‘i dan Hanbali mengemukakan beberapa dalil, yaitu surat al-Kahfi ayat 79, yang artinya: “adapun sampan itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut”. Allah dalam ayat ini menjelaskan bahwa orang miskin mempunyai kapal untuk berusaha. Adanya kapal, dicontohkan bagi nelayan, adalah sebagai sarana berusaha yang layak, dan dari sarana yang layak tentu saja akan memperoleh hasil yang layak pula. Selain ayat di atas, ke dua mazhab ini menyebut hadis Nabi saw sebagai dalilnya, yaitu hadis riwayat Turmuzi dan Ibnu Majah dari Anas bin Malik, yang artinya: “Rasulullah saw bersabda: Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin dan matikanlah aku dalam keadaan miskin”.

Berdasarkan zahir hadis, Rasulullah saw berdoa agar beliau dihidupkan dalam keadaan miskin, dan rasul tidak berdoa agar dihidupkan dalam keadaan fakir. Kedua mazhab ini memahami bahwa doa Rasulullah saw untuk hidup dalam keadaan miskin adalah berlindung dari kefakiran. Dari sini mereka menyimpulkan bahwa fakir lebih sengsara dibandingkan miskin. Karena Rasulullah tidak mungkin mendoakan keadaan yang sangat sengsara. Mereka berpendapat apabila miskin lebih sengsara, tentulah Nabi tidak berdoa agar dihidupkan dalam kemiskinan. Tidak ditemukan dalil nas maupun bukti lain yang menguatkan bahwa berdoa dihidupkan dalam keadaan miskin berarti berlindung dari kefakiran. Pendapat ini didasarkan kepada logika bahwa Nabi tidak mungkin berdoa dihidupkan dalam keadaan yang sangat sengsara.

Para ulama tafsir, seperti Ibnu Jarir at-Tabari, al-Qurtubi, Muhammad Rasyid Ridha, dan Muhammad Ali Sais, memberikan penjelasan yang sama dengan penjelasan ulama fikih di atas, yaitu mereka menguatkan wacana yang berkembang di kalangan ahli bahasa dan ahli fikih. Umumnya mereka ini hanya mengutarakan pemikiran yang berkembang tanpa terlalu terikat dengan satu pilihan saja, berbeda dengan ulama fikih yang menentukan makna tertentu yang digunakan. Hal ini dapat dimaklumi karena fikih bersifat praktis sedangkan tafsir banyak bermain di ranah perkembangan pemikiran dalam menjelaskan makna ayat al-Qur’an.

https://baitulmal.acehprov.go.id/post/miskin-dalam-pandangan-ulama-fikih-dan-tafsir-2

Mualaf

Mualaf adalah sebutan bagi orang Kafir yang mempunyai harapan masuk agama Islam atau orang yang baru masuk Islam. Pada Surah At-Taubah Ayat 60 disebutkan bahwa para mualaf termasuk orang-orang yang berhak menerima zakat. Ada tiga kategori mualaf yang berhak mendapatkan zakat:[butuh rujukan] Orang-orang yang dirayu untuk memeluk Islam: Pendekatan terhadap hati orang yang diharapkan akan masuk Islam atau ke-Islaman orang yang berpengaruh untuk kepentingan Islam dan umat Islam.

Orang-orang yang dirayu untuk membela umat Islam: Dengan memersuasikan hati para pemimpin dan kepala negara yang berpengaruh, baik personal maupun lembaga, dengan tujuan ikut bersedia memperbaiki kondisi imigran warga minoritas muslim dan membela kepentingan mereka. Atau, untuk menarik hati para pemikir dan ilmuwan demi memperoleh dukungan dan pembelaan mereka dalam permasalahan kaum muslimin. Misalnya, membantu orang-orang non-muslim korban bencana alam, jika bantuan dari harta zakat itu dapat meluruskan pandangan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin. Orang-orang yang baru masuk Islam kurang dari satu tahun yang masih memerlukan bantuan dalam beradaptasi dengan kondisi baru mereka, meskipun tidak berupa pemberian nafkah, atau dengan mendirikan lembaga keilmuan dan sosial yang akan melindungi dan memantapkan hati mereka dalam memeluk Islam serta yang akan menciptakan lingkungan yang serasi dengan kehidupan baru mereka, baik moril maupun material.

Sumber https://id.wikipedia.org/wiki/Mualaf

Riqob

Riqab merupakan salah satu mustahiq zakat yang dimaknai secara khusus yaitu memerdekakan budak, budak di sini diartikan sebagai mereka yang menjadi tawanan akibat perang yang dibenarkan secara syariat atau mereka yang merupakan keturunan budak pula.

Sebagian besar ulama mazhab sepakat yang dimaksud dengan riqab adalah adalah budak mukatab. Golonggan Syafiiyyah mengartikan riqab juga dengan budak mukatab akan tetapi dengan penyertaan syarat-syarat tertentu, hanya golongan Malikiyah saja yang berpendapat bahwa arti riqab dalam konteks mustahiq zakat di sini adalah budak secara umum, tidak terkait apakah ia mukatab atau tidak.

Sumber http://etheses.uin-malang.ac.id/294/11/10210084%20Ringkasan.pdf

Gharimin

Gharimin adalah kata dari bahasa Arab yang bermakna orang-orang yang memiliki hutang. Orang berutang yang berhak menerima kuota zakat adalah orang-orang dalam golongan: Orang yang berutang untuk kepentingan pribadi yang tidak bisa dihindarkan, dengan syarat-syarat sebagai berikut: Utang itu tidak timbul karena kemaksiatan. Utang itu melilit pelakunya. Si pengutang sudah tidak sanggup lagi melunasi utangnya. Utang itu sudah jatuh tempo, atau sudah harus dilunasi ketika zakat itu diberikan kepada si pengutang. Orang-orang yang berutang untuk kepentingan sosial, seperti yang berutang untuk mendamaikan antara pihak yang bertikai dengan memikul biaya diyat (denda kriminal) atau biaya barang-barang yang dirusak. Orang seperti ini berhak menerima zakat, walaupun mereka orang kaya yang mampu melunasi utangnya. Orang-orang yang berutang karena menjamin utang orang lain, dimana yang menjamin dan yang dijamin keduanya berada dalam kondisi kesulitan keuangan. Orang yang berutang untuk pembayaran diyat (denda) karena pembunuhan tidak sengaja, apabila keluarganya (aqilah) benar-benar tidak mampu membayar denda tersebut, begitu pula kas negara. Pembayaran diyat itu dapat diserahkan langsung kepada wali si terbunuh. Adapun diyat pembunuhan yang disengaja tidak boleh dibayar dari dana zakat.

Namun, tidak boleh mempermudah pembayaran diyat dari dana zakat, karena banyaknya kasus pembunuhan tidak sengaja, sebab para mustahiq zakat yang lain juga sangat membutuhkannya. Untuk itu, dianjurkan membuat kotak-kotak dana sosial untuk meringankan beban orang yang menanggung diyat seperti ini, misalnya karena kecelakaan lalu lintas dan sebagainya. Juga sugesti membuat kotak-kotak dana sosial keluarga atau profesi untuk menyerasikan sistem aqilah (sanak keluarga yang ikut menanggung diyat pembunuhan tidak sengaja) sesuai dengan tuntutan zaman.

Sumber https://id.wikipedia.org/wiki/Gharimin

Fi Sabilillah

Fisabilillah adalah orang berjuang di jalan Allah dalam pengertian luas sesuai dengan yang ditetapkan oleh para ulama fikih. Intinya adalah melindungi dan memelihara agama serta meninggikan kalimat tauhid, seperti berperang, berdakwah, berusaha menerapkan hukum Islam, menolak fitnah-fitnah yang ditimbulkan oleh musuh-musuh Islam, membendung arus pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam.

Dengan demikian, pengertian jihad tidak terbatas pada aktivitas kemiliteran saja. Kuota zakat untuk golongan ini disalurkan kepada para mujahidin, da’i sukarelawan, serta pihak-pihak lain yang mengurusi aktivitas jihad dan dakwah, seperti berupa berbagai macam peralatan perang dan perangkat dakwah berikut seluruh nafkah yang diperlukan para mujahid dan da’i. Kriteria Penerima Zakat Fisabilillah antara lain:

  1. Membiayai gerakan kemiliteran yang bertujuan mengangkat panji Islam dan melawan serangan yang dilancarkan terhadap negara-negara Islam.
  2. Membantu berbagai kegiatan dan usaha, baik yang dilakukan oleh individu maupun jamaah yang bertujuan mengaplikasikan hukum Islam di berbagai negeri.
  3. Membiayai pusat-pusat dakwah Islam yang dikelola oleh tokoh Islam yang ikhlas dan jujur di berbagai negara non-muslim yang bertujuan menyebarkan Islam dengan berbagai cara yang legal yang sesuai dengan tuntutan zaman. Seperti, masjid-masjid yang didirikan di negeri non-muslim yang berfungsi sebagai basis dakwah Islam.
  4. Membiayai usaha-usaha serius untuk memperkuat posisi minoritas muslim di negeri yang dikuasai oleh non-muslim yang sedang menghadapi rencana-rencana pengikisan akidah mereka. 

Sumber https://id.wikipedia.org/wiki/Fisabilillah

Ibnu Sabil

Orang yang dalam perjalanan (ibnu sabil) adalah orang asing yang tidak memiliki biaya untuk kembali ke tanah airnya. Golongan ini diberi zakat dengan syarat-syarat sebagai berikut:

Sedang dalam perjalanan di luar lingkungan negeri tempat tinggalnya. Jika masih di lingkungan negeri tempat tinggalnya, lalu ia dalam keadaan membutuhkan, maka ia dianggap sebagai fakir atau miskin.
Perjalanan tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam, sehingga pemberian zakat itu tidak menjadi bantuan untuk berbuat maksiat.
Pada saat itu ia tidak memiliki biaya untuk kembali ke negerinya, meskipun di negerinya sebagai orang kaya. Jika ia mempunyai piutang yang belum jatuh tempo, atau pada orang lain yang tidak diketahui keberadaannya, atau pada seseorang yang dalam kesulitan keuangan, atau pada orang yang mengingkari utangnya, maka semua itu tidak menghalanginya berhak menerima zakat.


https://id.wikipedia.org/wiki/Ibnusabil